BERANI GAGAL : Jika kamu membutuhkan beberapa orang saja untuk membuat bisnismu berhasil, akankah kamu membiarkan kata-kata 'TIDAK' mengakhirinya..? BERANI GAGAL : Don't be afraid, 'Anda harus mengeluarkan uang untuk menghasilkan uang lebih banyak..' [teamdh]

Please select language :


Pen Kamera Inverter DC ke AC Bluetooth Earphone Scanner Portable Kamera Remote
SANGGARBisnisOnline.Com

Minggu, 31 Oktober 2010

ORANG BAIK MASUK NERAKA, PELACUR MASUK SURGA

ORANG BAIK MASUK NERAKA, PELACUR MASUK SURGA

Baru sehari ibadah puasa dimulai, tiba-tiba hati saya terusik oleh tayangan Sergap dari RCTI pada 22 Agustus lalu. Berita itu tentang pembakaran dan perusakan sekitar 50 rumah yang diduga sebagai tempat prostitusi di daerah Kepala Lesung, Provinsi Riau. Tindakan itu dilakukan massa dan MUI setempat demi menjaga kesucian Ramadan.

Tayangan tersebut juga merekam kondisi memilukan. Anak-anak di tempat itu ketakutan sambil menangis melihat rumah-rumah dihancurkan. Pemerintah pun tidak kuasa mencegah perilaku anarkis tersebut. Ironis sekali, menjaga kesucian bulan puasa dilakukan melalui pengebirian hak-hak dasar manusia. Kesucian bulan puasa jauh lebih penting daripada martabat manusia dan rasa kemanusiaan. Gejala apa ini?

Saya lalu teringat pada satu kisah dalam cerita sufi yang amat mengesankan, cerita tentang orang alim dan pelacur. Dikisahkan, seorang alim bertetangga dengan seorang pelacur. Setiap kali orang alim itu memandang ke rumah tempat tinggal pelacur tadi, dalam benaknya yang dia bayangkan adalah perbuatan mesum. Dia selalu mengira pelacur itu pasti bermesuman. Prasangka buruk ini merasuki dirinya sedemikian rupa dan membuatnya sangat benci terhadap pelacur. Ingin rasanya dia mengusir pelacur itu, tapi dia takut dituduh tidak bijaksana, padahal masyarakat telanjur mengenalnya sebagai orang alim yang bijak.

Sebaliknya, setiap kali si pelacur memandang ke rumah orang alim itu, batinnya meratap sambil berdoa: "betapa mulia-Nya Engkau Tuhan, memiliki hamba mulia seperti tetanggaku yang alim itu, dihormati, dan disegani dalam masyarakat. Orang-orang dari berbagai pelosok berkunjung kepadanya, menimba ilmu dan memohon doa restu. Ya, Tuhan! Aku sangat ingin seperti dia, hidup terhormat, jauh dari dosa dan maksiat. Tunjukkan aku jalan-Mu, dan jangan Engkau tinggalkan aku tersesat seperti ini!
Demikianlah terjadi setiap hari, orang alim melihat pelacur itu dengan kegeraman dan kebencian. Sebaliknya, si pelacur melihat orang alim dengan penuh takjub dan rasa bangga.

Pendek cerita, tibalah hari pembalasan. Orang alim itu diseret malaikat ke pintu neraka. Dia protes, kalian pasti salah orang, tidak mungkin aku masuk neraka. Coba periksa kembali buku amalku. Malaikat pun membuka buku amal dan berkata: betul sekali Anda tercatat sebagai orang saleh dan sangat alim. Buku ini penuh rekaman amal-kebajikan. Tapi, satu hal membuat Tuhan murka dan tidak rida kepadamu. Engkau selalu melihat orang lain dengan kacamata hitam dan prasangka buruk. Contoh konkretnya, engkau selalu melihat pelacur, tetanggamu itu, dengan penuh kebencian, tiada belas kasih sedikit pun. Lupakah engkau bahwa surga dan neraka ciptaan Tuhan untuk hambanya. Hanya Dia yang berhak memilih siapa di antara hamba-Nya akan menghuni surga atau neraka.

Sementara, ketika diantar malaikat menuju gerbang surga, si pelacur pun protes: "Kalian tidak salah orang? Rasanya aku tidak pantas masuk surga. Buku amalku penuh torehan dosa. Walaupun demikian, kata malaikat, ada satu hal, tampaknya sepele dan sering diabaikan manusia, justru itu yang membuat Tuhan rida. Engkau selalu menaruh harapan baik kepada Tuhan, dan selalu positive thinking atau husn al-dzan terhadap manusia. Ketahuilah, surga dan neraka sepenuhnya milik Tuhan. Hanya Dia yang Mahatahu siapa yang bakal masuk ke dalamnya.

Kisah sufi ini menginspirasi kita sebagai hamba yang hina tentang perlunya memiliki harapan baik kepada Tuhan. Begitu sering Alquran dan hadis Nabi berpesan: "Jangan pernah putus asa dari rahmat Tuhan." Ana inda dzanni abdi bi (Aku mengikuti perkiraan hambaku). Maksudnya, kalau manusia punya pengharapan baik terhadap-Ku, Aku pun demikian terhadapnya, demikian sebaliknya.

Alquran juga mengingatkan perlunya selalu positive thinking kepada sesama manusia. Tidak mudah memang, sebab selalu saja datang godaan membelokkan kita berperilaku seperti perilaku Tuhan, yaitu menghakimi manusia. Sejatinya, hanya Tuhan yang punya hak prerogatif untuk menghakimi, bukan manusia. Sebagai manusia, kita cukup ber-fastabiqul khairat, berkompetisi secara sehat melakukan sebanyak mungkin amal kebajikan. Kita tidak tahu pasti, siapa di antara kita diterima amalnya, atau paling banyak amalnya. Hanya Dia Yang Mahatahu.

Pesan moral paling penting dari kisah sufi tersebut adalah jangan beribadah karena pamrih, termasuk pamrih untuk mendapatkan surga. Rabi'atul Adawiyah, seorang sufi perempuan ternama, setiap selesai beribadah yang dilakukan sepanjang malam, di akhir sujudnya selalu berdoa: Ya Rabb, andai aku menyembah-Mu hanya karena takut neraka, maka benamkanlah tubuhku ke dalamnya. Andai aku beribadah lantaran menginginkan surga-Mu, jauhkanlah aku darinya. Sebab, aku memuja-Mu demi mengharapkan rida-Mu semata, Ya Rabb.

Dalam konteks Ramadan kali ini, puasa hendaknya sungguh-sungguh dilakukan tanpa pamrih apa pun, kecuali mengharap rida Ilahi semata. Puasa demikian itulah yang mampu mengantarkan kita ke tujuan akhir, menjadi manusia bertakwa (al-Baqarah, 2:183). Puasa sebagaimana ibadah lainnya memiliki dua dimensi, hablun minallah (hubungan vertikal dengan Tuhan.) dan hablun minannas (hubungan horizontal antarmanusia). Sejatinya, mereka yang berpuasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban) pasti diampuni segala dosanya dan ditingkatkan kualitas kemanusiaannya menjadi manusia bertakwa.

Seperti apa persisnya manusia bertakwa itu? Sejumlah ayat memberikan indikasi kuat bahwa yang dimaksud adalah manusia yang memiliki integritas keimanan dan moralitas sempurna (akhlaq karimah). Manusia yang sudah sampai pada penghayatan esensi agama, yakni memanusiakan manusia. Puasa pada hakikatnya adalah mekanisme refleksi kemanusiaan. Puasa punya efek memupuk budaya cinta dan damai, bukan kemarahan, kebencian, apalagi kekerasan.

Puasa mengajarkan budaya kesetaraan, tidak satu pun manusia boleh diperlakukan sewenang-wenang, baik dalam bentuk diskriminasi, eksploitasi maupun kekerasan, untuk alasan apa pun. Seharusnya, dengan berpuasa kita menjadi lebih santun, lebih rendah hati, serta lebih bijak sehingga tercipta damai dan harmoni dalam kehidupan bersama. Wallahu a'lam bi as-shawab. <JP260809)

3 Beri Komentar:

Anonim mengatakan...

subhanallah..sungguh maha besar ALLAH,,orang yang kita pandang hina,sungguh mulia di mata ALLAH. sebaliknya,orang yang kita anggap suci,ALLAH tidak ridho' kepadanya. ini adalah pelajaran bagi kita semua,hilangkan perasaan su'udzan kepada siapapun tanpa terkecuali. kita ambil hikmahnya,semoga ALLAH SWT meridho'i perjalanan kita semua untuk menuju surgaNYA,amin..amin..amin..ya robbal a'lamin

Pramana Iswardhani mengatakan...

Banyak sekali orang2 yg merasa mempunyai hak melebihi Allah. Padahal buruk/tidak, masuk neraka/tidak, kafir/tidak... itu hak Allah sepenuhnya untuk menentukan. Manusia tidak punya hak sama sekali. Tetapi faktanya.. banyak sekali orang melakukan penilaian melebihi hak Allah. Subbanaallah...
Bahkan ketika sakaratul maut datang dan nafas terakhir sudah di ujung tenggorokan, jika terucap tobat, dan Allah menghendaki... seorang kafir sekalipun akan di ampuni olehNya.

Pramana Iswardhani mengatakan...

Banyak sekali orang2 yg merasa mempunyai hak melebihi Allah. Padahal buruk/tidak, masuk neraka/tidak, kafir/tidak... itu hak Allah sepenuhnya untuk menentukan. Manusia tidak punya hak sama sekali. Tetapi faktanya.. banyak sekali orang melakukan penilaian melebihi hak Allah. Subbanaallah...
Bahkan ketika sakaratul maut datang dan nafas terakhir sudah di ujung tenggorokan, jika terucap tobat, dan Allah menghendaki... seorang kafir sekalipun akan di ampuni olehNya.

Posting Komentar