ORANG BAIK MASUK NERAKA, PELACUR MASUK SURGA
Baru sehari ibadah puasa dimulai, tiba-tiba hati saya terusik oleh tayangan Sergap dari RCTI pada 22 Agustus lalu. Berita itu tentang pembakaran dan perusakan sekitar 50 rumah yang diduga sebagai tempat prostitusi di daerah Kepala Lesung, Provinsi Riau. Tindakan itu dilakukan massa dan MUI setempat demi menjaga kesucian Ramadan.
Tayangan tersebut juga merekam kondisi memilukan. Anak-anak di tempat itu ketakutan sambil menangis melihat rumah-rumah dihancurkan. Pemerintah pun tidak kuasa mencegah perilaku anarkis tersebut. Ironis sekali, menjaga kesucian bulan puasa dilakukan melalui pengebirian hak-hak dasar manusia. Kesucian bulan puasa jauh lebih penting daripada martabat manusia dan rasa kemanusiaan. Gejala apa ini?
Saya lalu teringat pada satu kisah dalam cerita sufi yang amat mengesankan, cerita tentang orang alim dan pelacur. Dikisahkan, seorang alim bertetangga dengan seorang pelacur. Setiap kali orang alim itu memandang ke rumah tempat tinggal pelacur tadi, dalam benaknya yang dia bayangkan adalah perbuatan mesum. Dia selalu mengira pelacur itu pasti bermesuman. Prasangka buruk ini merasuki dirinya sedemikian rupa dan membuatnya sangat benci terhadap pelacur. Ingin rasanya dia mengusir pelacur itu, tapi dia takut dituduh tidak bijaksana, padahal masyarakat telanjur mengenalnya sebagai orang alim yang bijak.
Sebaliknya, setiap kali si pelacur memandang ke rumah orang alim itu, batinnya meratap sambil berdoa: "betapa mulia-Nya Engkau Tuhan, memiliki hamba mulia seperti tetanggaku yang alim itu, dihormati, dan disegani dalam masyarakat. Orang-orang dari berbagai pelosok berkunjung kepadanya, menimba ilmu dan memohon doa restu. Ya, Tuhan! Aku sangat ingin seperti dia, hidup terhormat, jauh dari dosa dan maksiat. Tunjukkan aku jalan-Mu, dan jangan Engkau tinggalkan aku tersesat seperti ini!
Tayangan tersebut juga merekam kondisi memilukan. Anak-anak di tempat itu ketakutan sambil menangis melihat rumah-rumah dihancurkan. Pemerintah pun tidak kuasa mencegah perilaku anarkis tersebut. Ironis sekali, menjaga kesucian bulan puasa dilakukan melalui pengebirian hak-hak dasar manusia. Kesucian bulan puasa jauh lebih penting daripada martabat manusia dan rasa kemanusiaan. Gejala apa ini?
Saya lalu teringat pada satu kisah dalam cerita sufi yang amat mengesankan, cerita tentang orang alim dan pelacur. Dikisahkan, seorang alim bertetangga dengan seorang pelacur. Setiap kali orang alim itu memandang ke rumah tempat tinggal pelacur tadi, dalam benaknya yang dia bayangkan adalah perbuatan mesum. Dia selalu mengira pelacur itu pasti bermesuman. Prasangka buruk ini merasuki dirinya sedemikian rupa dan membuatnya sangat benci terhadap pelacur. Ingin rasanya dia mengusir pelacur itu, tapi dia takut dituduh tidak bijaksana, padahal masyarakat telanjur mengenalnya sebagai orang alim yang bijak.
Sebaliknya, setiap kali si pelacur memandang ke rumah orang alim itu, batinnya meratap sambil berdoa: "betapa mulia-Nya Engkau Tuhan, memiliki hamba mulia seperti tetanggaku yang alim itu, dihormati, dan disegani dalam masyarakat. Orang-orang dari berbagai pelosok berkunjung kepadanya, menimba ilmu dan memohon doa restu. Ya, Tuhan! Aku sangat ingin seperti dia, hidup terhormat, jauh dari dosa dan maksiat. Tunjukkan aku jalan-Mu, dan jangan Engkau tinggalkan aku tersesat seperti ini!